Di Negeri – Negeri ini, yang pernah dipenuhi dengan semangat merahnya, kini semakin pudar. Pudar bukan hanya dalam arti warna bendera, tetapi dalam hati nurani yang semakin hilang. Wajah malu yang dulu menghiasi setiap individu, kini semakin jarang terlihat. Di tengah hiruk-pikuk modernisasi dan klaim kemajuan, apakah kita benar-benar bertumbuh? Atau justru tenggelam dalam kegilaan yang menutup mata terhadap nilai-nilai luhur yang pernah ada?
Melunturkan Makna Merah
Merah, yang dahulu melambangkan keberanian dan martabat, kini hanya menjadi simbol tanpa jiwa. Di mana rasa bangga terhadap tanah air? Di mana kehormatan untuk menjaga integritas sebagai bangsa? Jika dulu merah itu terpancar melalui keberanian untuk berbicara jujur dan membela yang benar, sekarang merah itu terlihat pudar, digantikan oleh warna-warna instan yang hanya memuaskan nafsu sesaat.
Masyarakat kini terbiasa dengan kenyamanan yang datang tanpa perjuangan. Generasi muda, yang diharapkan menjadi penerus bangsa, lebih sibuk mengejar popularitas lewat layar ponsel daripada merawat martabat yang diwariskan nenek moyang. Mereka terjebak dalam dunia maya yang tidak berujung, di mana standar moral bisa diputarbalikkan seiring dengan algoritma media sosial https://www.toyib.net/.
Mengabaikan Rasa Malu yang Hilang
Dulu, rasa malu adalah penghalang terbesar bagi seseorang untuk melakukan hal-hal tercela. Malu menjadi pengingat, bahwa setiap tindakan ada tanggung jawab moral. Namun hari ini, malu seakan menjadi barang langka. Di layar televisi dan media sosial, kita disajikan dengan perbuatan tak senonoh yang kadang malah mendapatkan pujian dan penghargaan. Dari korupsi yang semakin merajalela hingga tindakan kekerasan yang dipertontonkan tanpa rasa takut, malu seakan tidak memiliki tempat lagi dalam kehidupan kita.
Apa yang terjadi dengan rasa tanggung jawab terhadap sesama? Dulu, kita diajarkan untuk menjaga hubungan baik dengan sesama manusia, menjaga tata krama dan menghormati orang lain. Sekarang, kita lebih sering melihat orang melangkah tanpa menghiraukan siapa yang terinjak. Bagaimana kita bisa berharap pada generasi yang tidak lagi malu untuk melakukan hal yang salah, jika lingkungan kita sendiri membiarkan kebobrokan itu berlarut-larut?
Bangkit Dari Keterpurukan
Agar negeri ini kembali ke jalur yang benar, kita harus menumbuhkan kembali rasa malu yang telah lama hilang. Rasa malu bukanlah tanda kelemahan, melainkan kekuatan yang mengingatkan kita untuk tetap berada di jalur yang benar. Rasa malu adalah refleksi dari integritas, yang hilang bukan karena kita tidak mampu memilikinya, tetapi karena kita sengaja melupakan nilai-nilai tersebut demi kenyamanan sesaat.
Baca juga artikel kami yang lainnya: Sungai Ciliwung Meluap, Cililitan Dilanda Banjir
Negeri ini butuh pemimpin yang bukan hanya pandai berbicara, tetapi juga mampu bertindak dengan penuh rasa malu ketika melakukan kesalahan. Kita butuh masyarakat yang berani mempertanyakan segala hal yang tidak benar, dan berani untuk kembali menegakkan yang benar, meskipun itu tidak populer.
Hanya dengan menumbuhkan kembali rasa malu yang hilang, kita bisa meraih kembali harga diri yang semakin memudar, dan membawa negeri ini ke arah yang lebih bermartabat.